Seorang Pendidik Pasti Mampu Menjadi Pemimpin

Bongkar-bongkar file lama mencari data tentang budaya, malah nemu arsip ini. Cocok sebagai refleksi Munas KAHMI di Palu, 23-27 November 2022, khususnya tentang keberlanjutan kaderisasi sepanjang masa.
Ada dua wawancara di dalamnya, Syaikh Abdussalam Panji Gumilang & KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, dua senior HMI Cabang Ciputat dekade 1960-an. Naskah ini terbit di Majalah VISI KITA, terbitan Majelis Nasional KAHMI 2006. Terbit untuk edisi 25 dengan liputan utama tentang Kiprah Alumni HMI di dunia Pesantren. Ga terasa sudah 16 tahun arsip ini. Sebagian besar nama yang disebutkan dalam naskah wawancara ini juga sudah mendahului Kita. Lahum Alfatihah 🤲
Naskah ini versi aslinya (soft file); berbeda dengan naskah yang terbit versi cetak (hard file) karena versi asli ini sudah diperingkas sedemikian rupa, mengingat keterbatasan halaman sebagaimana media cetak. Tabik!
Rubrik: Liputan Utama/Wawancara
Edisi: 25 | Tahun 2006
Topik: Kiprah Alumni HMI di Pesantren
Media: Majalah Visi Kita
Penerbit: Majelis Nasional KAHMI
Syaikh Abdussalam Rasyidi (AS. Panji Gumilang)
”Saya seorang pendidik dan tidak pernah meragukan siapa penggantinya”
Wisma Al-Islah terasa hotel bintang empat di tengah pelosok desa. Inilah kesan kuat kami ketika bermalam di lantai 4 kamar 523 wisma Ma’had Al-Zaytun, sehari penuh, Selasa 19 September 2006. Pondok Pesantren Modern yang menyandang sebutan “Pusat Pendidikan dan Pengembangan Budaya Toleransi serta Budaya Perdamaian” ini berdiri di areal 1.200 hektar di Desa Haurgeulis, 20 kilometer dari Indramayu, Jawa Barat.
Sekitar pukul 10.30 WIB, pria berposter tubuh besar dan tinggi, ketua yang dituakan pondok pesantren ini datang ke lantai satu menyapa Fathorrahman Fadli dan Alfi Rahmadi dari Majalah VISI KITA. Biasa disapa Syaikh AS Panji Gumilang dari nama lengkapnya Abdussalam Rasyidi Panji Gumilang, ia alumni HMI Cabang Ciputat, tetapi tidak mau disebut alumni, apalagi alumni senior.
Tamat dari Pondok Modern Gontor 1966, ia menuruskan studinya di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengikuti jejak dua seniornya di Gontor: Nurcholis Madjid (Cak Nur) ketua umum HMI Cabang Ciputat 1964-1965 dan Abdullah Syukri Zarkasyi ketua Lembaga Dakwah Himpunan Islam (LDMI) cabang ini pada periode yang sama. Dua seniornya ini kuliah di Fakultas Adab, sama dengan Panji Gumilang. Cak Nur menuntaskan studi sarjana penuh (Drs) 1961-1968 dan Syukri Zarkasyi merampungkan studi sarjana muda (BA) 1960-1965.
Sejarah HMI selanjutnya mencatat: Cak Nur terpilih ketua umum PB. HMI dua periode 1966-1969 dan 1969-1971, tetapi tidak membuat Cak Nur riang karena pertanda bakal telat menikahi kekasihnya: Omi Komaria. Cak Nur, satu-satunya ketua umum PB HMI pemegang mandat dua periode karena ‘kecelakaan sejarah’ nasional. Ia terpilih lagi karena dianggap tokoh muda intelektual Islam paling fasih menjembatani islah antara Masyumi yang telah dibubarkan pada 1960 dengan senior dan pemimpin HMI pada zamannya yang sejak awal memiliki sejarah buruk, khususnya mengenai konsep dasar Indonesia serta militansi Masyumi sebagai partai politik Islam.
Menyaksikan secara dekat pergolakan pemikiran Cak Nur merumuskan evolusi landasan HMI dari semula berupa “Nilai-nilai Islamisme” saat seniornya ini mengemban tugas ketua umum HMI Cabang Ciputat yang kelak berubah menjadi Nilai-nilai Dasar Islam (NDI) dan dibakukan menjadi NDP (1971), Panji Gumilang sampai sekarang tidak pernah menyebut dirinya sebagai alumni HMI. Itu karena ia ingin sepanjang masa menjiwai nilai-nilai dasar perjuangan yang dirumuskan seniornya itu.
Dari NDP itulah Panji Gumilang yang lahir pada 30 Juli 1946 mengaku kepada kami menjadi salah satu katalisator terwujudnya cita-citanya menjadi ‘petani’ saat ini: petani yang membajak sawah dan ternak sapi dengan teknologi. Di HMI Cabang Ciputat dekade akhir 1960-an, ia ketua Lembaga Pertanian Mahasiswa Islam (LPMI). Berikut perbincangannya:
Hal apa yang membuat Kanda yakin mengelola Ma’Had Al-Zaytun ini?
Dari sebuah mimpi. Ketika Anda punya cita-cita dan harapan, maka tuangkan dalam mimpi itu. Belajar membuat mimpi sebetulnya telah kita pelajari dalam HMI. Menjadi insan cita dengan membawa sebuah perubahan baru. Lalu dalam prosesnya, saya yakinkan kepada Anda, Yakin Usaha Sampai! (hahaha).
Ada anggapan motto ini untuk ukuran zaman kini, kata ’sampai’ dikedepankan terlebih dulu, kemudian yakinnya belakangan. Jadi wajar menjadi lebih pragmatis dan materialistik. Menurut Kanda?
Tidak bisa! Tanpa keyakinan orang tidak akan sampai. Dan orang sampai tanpa keyakinan itu biasanya by accident. Itulah yang akan menggagalkan ke-sampaiaan-nya. Seperti bangsa dan negara kita saat ini dijalankan dengan sedikit keyakinan sehingga pimpinannya sampai dianulir berkali-kali. Ia belum yakin terhadap plularisme, demokrasi dan perdamaian sehingga pasang-surut. Satu tampil kemudian dianulir lagi; begitu seterusnya. Kalau yakin, sebetulnya sisa Belanda yang kita pakai itu bisa bagus. Begitu juga sisa Jepang. Yang diambil hanya sia-sisa yang baiknya. Apalagi kita pakai sunnah yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Maka “Yakin Usaha Sampai” itu sebuah kata yang luar biasa. Tidak bisa dirubah!
Mengapa gaung alumni HMI tidak terlalu terdengar mengabdi dirinya secara langsung untuk pesantren?
Dalam menilai, jangan conditioning (kondisional). Jangan secara personal dan parsial. Harus dinilai dari cita-citanya. Sebab terkadang ada proses orang mencari jati dirinya itu berkelana kemana-mana dulu. Dalam adagium Arab disebutkan “Safir tajid ’iwadhan ’amman tufariquhu #wan-shab fainna lazizu –al-’aisyi fi an-nashabi”. Bersafarlah kamu, maka akan temukan pengganti yang terbaik dari yang kamu tinggalkan sebelumnya. Mengapa demikian? Karena dalam perjalanan itulah sesungguhnya kamu akan temukan lezatnya sebuah perjalanan untuk meraih cita-cita.
Tetapi kapan “sampainya”? Pasti ada hal yang taktis-strategis agar umur tidak habis dalam menempuh cita-cita itu?
Ada titik akhir atau titik didih dalam perjalanannya kelak. Maka sering kita berdoa, Ya Allah, jadikan akhir kami dengan husnul al-khatimah atau penutup yang baik. Sebab dalam perjalanan hidup ada bagian yang integral dan tak terpisahkan dari masa lalu dan masa yang akan datang. Perjalanan bangsa ini tidak dilalui 10-60 tahun. Jadi yang disebut bangsa itu adalah bukanlah hari ini. Yang tidak ada lagi (wafat-red), termasuk yang masih dalam kandungan, dan yang dicita-citakan akan lahir: semuanya disebut sebagai bangsa. Jadi jangan dinilai hari ini, sebab manusia itu qad yazid wa yanqush (turun-naik, red). Karena itulah dalam Al-Quran disebutkan bahwa yang terakhir adalah lebih baik dari yang pertama. Ini semua tertuju untuk membangun dunia baru yang bahagia yang diridhai Allah Ta’ala.
Tetapi mengapa dalam proses kehidupannya, secara empirik, alumni HMI antri dalam satu gerbong panjang politik, sementara banyak gerbong sesungguhnya perlu diisi seperti ekonomi dan pendidikan. Mengapa terjadi seperti ini?
Kalau saya ditanya bagaimana dengan HMI, maka saya jawab HMI itu bagus. Siapa yang bilang tidak bagus. Kita ini menamakan diri sebagai sekumpulan pemuda Islam yang memiliki tujuan jelas. Hanya saja dalam perjalanannya, ini yang kadang-kadang saja, dia pikir bahwa hidup hari ini mulus-mulus saja. Padahal dalam perjalanan hidup, selamanya tidak mulus terus. Namanya juga hidup. Karena itu perlu sustainable (keberlanjutan) yang memang banyak kandungannya, baik itu nilai ekonomi, nilai cita-cita, kreasi, maupun masa depan. Karena punya kandungan ini maka HMI itu disebut korps. Sebagai sebuah Korps, di satu sisi yang antri tadi salah sendiri mengapa antri. Tetapi pada sisi lain: tentu bagi yang sudah ’duduk’ bisa berbuat yang terbaik untuk gerbong yang lain; misalnya melakukan advokasi untuk kemajuan dunia pendidikan. HMI lahir dari kampus dan mestinya kembali lagi ke kampus, dalam arti lembaga pendidikan sebagai kawah candradimuka kaderisasi.
Namanya Al-Zaytun. Bukan jenis buah yang tumbuh di Bait-al-Maqdis, Palestina, tetapi lembaga pendidikan pesantren di Haurgeulis. Al-Zaytun Indonesia tampaknya tengah meracik peradaban laiknya zaman Nabi Musa ketika menerima wahyu di bukit Tursina sana. “Dan demi negeri yang aman ini”–demikian terjemahan Q.S. al-Tin ayat 3. Ada transfer cita-cita sebuah negeri; aman secara lahir dan batin yang dibangun oleh Syaikh Abdussalam Panji Gumilang di Al-Zaytun Haurgeulis.
Ayat tersebut dikontekstualkan dengan membangun fasilitas hotel berbintang di Ma’had Al-Zaytun. Kebutuhan makan, minum, olahraga, tidur, dan ragam kebutuhan para santrinya dibuat dengan canggih, luks dan heginis. Tidak ada yang tidak termanfaatkan di sini. Bahkan air kencing sekalipun disuling menjadi pakan hewan ternak dan pupuk, terutama untuk jati emas dan mahoni. Inilah salah satu prinsipnya; “Tuhanku sesungguhnya tidak ada yang sia-sia dari semua ciptaan-Mu”.
Ketika orang menggunjing Al-Zaytun berpaham sesat, mereka jawab dengan berbuat. Ketika lembaga pendidikan ramai-ramai menuntut hak Bantuan Operasional Sekolah (BOS), diam-diam Al-Zaytun mengubah kurs dollar dengan harga sapi. Dengan sapi, percaya atau tidak, menurut ketua yang dituakan Ma’had Al-Zaytun ini (mereka menyebut pimpinan pesantrennya dengan istilah ini), justru ingin membebaskan beban apapun dalam pendidikan. Caranya?
Menurut Panji Gumilang, pola pikir tentang sapi selama ini harus diubah terlebih dahulu. Yang dianggap nikmat dari sapi bukan dagingnya, tetapi justru kotorannya. Kotoran pada satu sapi bisa memproduksi pupuk untuk 10 pohon jati. Dari jumlah ini, jika disetarakan dengan kurs dollar Paman Sam, ia yakin bisa menyekolahkan anak sampai tingkat doktor dengan standar usia 25, sehingga usia di atas ini saatnya mengabdi terjun ke tengah masyarakat secara langsung dan permanen.
Apakah hal ini investasi pendidikan dari kotoran? Bukan! Justru dari daging sapi yang manusia makan kelak menjadi kotoran. Sebaliknya, kalau dari kotoran sapi, bisa jadi ‘daging pendidikan’ untuk menggerakkan roda kehidupan. Demikian itu urai Ketua Lembaga Pertanian Mahasiswa Islam (LPMI) HMI Cabang Ciputat dekade akhir 1960-an ini ketika kami meninjau 1.200 hektar areal Ma’had Al-Zaytun, sehari penuh, 19 September 2006.
Saat kami berkunjung ke kantor bagian Pendidikan dan Pengajaran, salah seorang ustadz muda menyapa kami, “Bang, saya juga alumni HMI”. Mengelilingi Ma’had ini ditemani ustadz Nawawi, sekretaris pribadi Syaikh Panji Gumilang. Ternyata Nawawi juga alumni HMI Cabang Ciputat.
Bagaimana Kanda melihat proses kaderisasi antar generasi HMI hari ini?
Sebagai kader yang pernah duduk di satu tempat, dan kita bergabung dalam satu ikatan, satu generasi antar generasi lainnya harus memberi pencerahan agar apa yang di khittah-kan itu menjadi nyata. Belum pernah ada peradaban maju di dunia ini tanpa melalui kemajuan lembaga pendidikan sebagai tulang punggung peradaban. Lembaga pendidikan membentuk manusia-manusia yang tercerahkan.
Tetapi nyatanya pencerahannya redup, Kanda?
Karena banyak HMI sekarang ini yang sudah menganggap dirinya sebagai alumni (hahaha). Padahal istilah alumni itu adalah sudah selesai atau sisa-sisa atau pensiun; dan masing-masing anggota HMI mulai membawa cita-citanya. Jadi dalam konteks organisasi alumninya, wajar saja kalau potensinya kurang tergali karena mindset istilah alumni tadi. Saya tidak pernah menganggap diri saya sebagai alumni ataupun senior HMI, tetapi sebagai HMI sampai sekarang.
Mengapa demikian?
Agar nilai-nilai perjuangannya tidak menjadi sisa-sisa atau bahkan pensiun (hahaha): jangan pernah jadi alumni sebab itu akan pensiun. Saya tidak ngajak lho? Sebab framenya sudah lain kalau menggunakan istilah alumni.
Jadi apa frame terbaik untuk menyebut HMI yang sudah habis masanya pada suatu jenjang tertentu?
Yang tersisa adalah ’Korps’ sebagaimana Korps Alumni Mahasiswa Islam (KAHMI). Tetapi kalau menginginkan ada satu panglimanya atau ingin menyatu, maka bukan alumni lagi namanya, karena berbentuk sebuah organisasi pokok yang bergerak seperti gerakan organisasi. Maka jangan pakai istilah alumni, tetapi buatlah fase-fase HMI. Misalnya HMI Fase I, II, dan III. Pendidikan saja ada stratanya. Lantas kalau sudah alumni tetapi tanpa strata, ya… seperti ini jadinya. Jadi ada sebuah ikatan berkelanjutan yang mengikat untuk mewujudkan cita-cita bersama.
Panji Gumilang memang gemilang. Setelah melalang buana ke sejumlah negara sahabat, ia kumpulkan para tenaga ahli tiap bidang keilmuan sebelum dan apalagi sesudah Ma’had Al-Zaytun berdiri setelah diresmikan Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie 1999. Mereka mewakili dari semua cabang besar keilmuan: skolastik (keagamaan), sosial humaniora dan eksakta atau ilmu alam dan ilmu pasti. Di sini, di tanah Haurgeulis ini, mereka membuka kota.
Dulu sebelum Al-Zaytun berdiri, desa ini tidaklah cantik seperti penamaannya “geulis” melainkan kumuh dan gersang. Al-Zaytun menyulapnya menjadi geulis. Semua kebutuhan ma’had dikelola secara mandiri dan berteknologi yang lazim dilakukan oleh kampus-kampus beken seperti ITB, IPB, UGM dan sebagainya. Pergedungannya berinterior khas Timur Tengah, Eropa, kerajaan-kerajaan Nusantara, dan Indonesia. Segala pembangunan difungsikan sebagai metodologi dan praktek nyata proses belajar-mengajar. Ambil contoh, ketika para santri belajar Al-Quran dalam topik Al-Baqoroh (sapi) pada kisah Bani Israil misalnya, mereka diajak membuat secara nyata rekayasa genetika agar dapat menciptakan sapi unggulan lebih dari yang dicita-citakan oleh Bani Israel berabad lampau.
Sejauh ini untuk menciptakan sapi unggul berkelas dunia, Al-Zaytun mentransfer gen lima sapi unggulan dunia: sapi Prancis, Jerman, Australia, Madura dan Bali. Melalui proses teknologi, antara lain rekayasa genetika, sapi pedaging dan susu ini sekali lahir diharapkan mampu menghasilkan 50 ‘kepala’ (mereka meralat istilah ekor pada hewan). Panji Gumilang menaksir harganya sekali lahir, Al-Zaytun bisa meraup Rp. 2 miliar per ‘kepala’. Tinggi sapinya mencapai 2.5 sampai 3 meter dengan besar badan rata-rata 2 kaki sebagaimana yang kami saksikan di kandang sapi unggulan ini.
Uniknya lagi: Panji Gumilang bercita-cita agar warna keemasan sapi yang dulu diruetkan Bani Israel kepada Nabi Musa, diubah jadi merah-putih! Dan saat kami saksikan pada 2-3 sapi sekitar usia satu tahun dan di bawahnya, memang sudah agak tampak warna bendera Indonesia ini meskipun corak merahnya masih samar-samar karena masih terus uji coba melalui rekayasa genetikanya.
Itu salah satu contoh metode pembelajaranya. Begitu juga ketika mereka belajar materi meteorologi. Mempelajari cuaca panas, tata cara shalat istisqa (minta hujan) mereka bedah dengan menyiapkan wujud fisik bendungan sebagai ungkapan syukur atas nikmat dan anugerah Tuhan. Musim kering di negeri tropis seperti Indonesia yang melangkakan air, bagi Panji Gumilang, itu bentuk kufur nikmat. Sebab saat Tuhan menganugerahkan musim hujan, kita selama ini tidak menampung debit air yang besar itu dalam teknologi bandungan.
Perbedaan yang paling kuat yang Kanda rasakan sebagai generasi HMI 1960-an dengan sekarang?
Zaman Anda lain. (Panji Gumilang sejenak diam; seolah-olah mengingat sesuatu)
Maksudnya?
Ini jawaban saya kalau di tanya seperti itu. Jawaban ini persis diberikan Kiai saya: KH. Imam Zarkaysi (salah satu Trimurti Pondok Modern Gontor–red). Saat itu tahun 1965, beliau bicara tentang pendidikan putra-putri. Beliau bilang, ”Mendidik 1 putri lebih sulit mendidik 1.000 putra.” Statemen beliau seperti ini karena Gontor saat itu tidak membuka kampus putri; apalagi sekampus dengan putra. Tidak ada yang bertanya saat itu, hanya saya. ”Ustadz..kalau begitu kepada siapa nanti putri-putri ini kita didik”, tanya saya. Beliau jawab dengan luar biasa cerdasnya: “Zamanmu lain!” Tidak ada penjelasan berikutnya; menyuruh maupun melarang. Artinya ada inovasi dan nalar dalam interval waktu antargenerasi di sini. Nah sekarang kita di Al-Zaytun membuka pendidikan putri dalam satu kampus dengan putra meskipun banyak yang menentang tidak setuju.
Dalam konteks HMI, di antara nalar “zamanmu lain” itu sentuhan inovasi terbaik generasi HMI terdahulu sebagai fondasi juga refleksi untuk kemajuan organisasi pengkaderan sekarang. Menurut Kanda?
Memang, sentuhan itu adalah realita zamannya masing-masing agar terjadi kesinambungan historis dari tradisi baik yang telah ada pada zaman lalu. Tetapi itu tergantung Anda yakin atau tidak dalam praktik kaderisasi yang semestinya senantiasa berkesinambungan. Dalam hal ini masih ada contoh yang diberikan KH. Imam Zarkasyi. Seorang tokoh dari Padang bertanya kepada beliau, ”Pak Kiai, nanti siapa yang akan mengantikan Pak Kiai?” Pertanyaan ini pernah ditanyakan KH. Syukri Zarkasyi (putra Imam Zarkasyi–red) kepada saya. Jawaban yang saya berikan juga sama persis dengan jawaban KH. Imam Zarkasyi kepada tokoh dari Padang itu. ”Saya seorang pendidik, dan tidak pernah meragukan siapa penggantinya, karena semua anak didik saya akan tampil”. Saya meminjam jawaban dari ayahnya sendiri. Ini jawaban yang sang bervisi; apakah seperti Majalah Anda: VISI KITA? (Hahaha). [] Alfi Rahmadi
Kutipan:
“Banyak HMI sekarang ini sudah menganggap dirinya sebagai alumni. Padahal istilah alumni itu adalah sudah selesai atau sisa-sisa atau pensiun. Jadi dalam konteks organisasi alumninya, wajar saja kalau potensinya kurang tergali karena mindset istilah alumni tadi. Saya tidak pernah menganggap diri saya sebagai alumni ataupun senior HMI, tetapi sebagai HMI sampai sekarang agar nilai-nilai perjuangannya tidak menjadi sisa-sisa atau bahkan pensiun. Sebagai gantinya (istilah alumni) buatlah fase-fase HMI. Misalnya HMI Fase I, II, dan III agar ada ikatan berkelanjutan yang mengikat untuk mewujudkan cita-cita bersama.–Syaikh Abdussalam Panji Gumilang
KH. Abdullah Syukri Zarkasyi
EMPAT PENGALAMAN AGAR KADER BERKARAKTER
Di usia ke-80, Pondok Modern Gontor 2006 terus menapak tahap-tahap pengembangannya. Sesenja ini Gontor memiliki 15.000 santri yang tersebar pada sembilan pondok pesantren modern binaannya secara langsung. Antara lain di Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, Sulawesi Tenggara, Aceh dan sebagainya. Pondok pesantren yang dikelola oleh alumninya (Pondok Alumni-red) ada sekitar 600-an pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia dan negara-negara sahabat.
Bukan perkara mudah mengelola, mengembangkan, dan mempertahankan pesantren dengan jumlah santri dan area kerja seluas itu. “Saya sebutkan sebagai Manajemen Nilai-nilai dan itu bisa diorganisir; pengorganisasian nilai-nilai,” cetus KH. Abdullah Syukri Zarkyasi, pimpinan Gontor dan ketua bidang Lembaga Dakwah Himpunan Islam (LDMI) HMI Cabang Ciputat 1964-1965 era Nurcholish Madjid (Cak Nur) ketua umum cabang ini.
Pengorganisian nilai-nilai itu untuk mendidik manusia-manusia penggerak dan pejuang. “Mendidik generasi penggerak dan pejuang dengan mendidik manusia biasa itu sungguh sangat berbeda. Disamping butuh kecakapan yang bisa diindrakan, juga membutuhkan nilai-nilai kejiwaan yang sulit diindrakan. Puluhan tahun saya mengalaminya; hampir seluruh usia saya,” papar kiai kelahiran 19 September 1942 ini.
Pada berbagai kesempatan sebelum September 2006, antara lain di Hotel Marcopolo Jakarta dan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, usai menyandang gelar doktor honoris causa dari kampus ini pada Agustus 2005, KH. Abdullah Syukri Zarkasyi memaparkan kaderisasi di Gontor serta pandangan sekilasnya tentang kaderisasi di HMI dan kilas nostalgia HMI Cabang Ciputat kepada Alfi Rahmadi dari Majalah VISI KITA. Selengkapnya:
Apa saja modal Pak Kiai memimpin Gontor dengan area kerja yang luas ini?
Kalau dalam konteks HMI, ente panggil kanda juga tidak apa-apa; ini mengingatkan saya pada cabang Ciputat (hahaha). Sederhana saja sebetulnya: ada nilai-nilai kejiwaan yang sulit di indrakan tampak sederhana diucapkan tetapi harus dijalankan seperti nilai keikhlasan dan kesungguhan sebagai nilai utama. Dari sini akan terlihat wawasan pengalaman yang banyak dan matang; wawasan pemikiran; keilmuan; nyali besar dan keberanian yang tinggi dan tegas; punya idealisme tinggi dan visioner; kemudian banyak mengambil inisiatif, mampu membuat dan memanfaatkan jaringan kerja; bisa dipercaya karena telah berbuat; serta jujur dan transparan. Modal-modal ini kemudian punya kriteria sebagai pimpinan personal dan kolektif yang diproteksi oleh nilai-nilai luhur pesantren dan dikembangkan secara modern.
Baiklah Pak Kiai, eh..Kanda. Agar modal-modal itu bisa berkelanjutan, manajemen kaderisasi apa yang paling signifikan diterapkan?
Dengan suksesi kepemimpinan pesantren yang tidak secara geneologis atau hal-hal kenisbatan, tetapi langkah-langkah pendidikan dan pembelajaran yang sistematis dan berkelanjutan sepanjang massa. Seperti uswah al- hasanah, pengarahan, pendekatan, motivasi, penugasan, pembekalan, evaluasi, dan pembinaan lahir-batin. Semuanya diberikan secara berjenjang.
Ambil contoh pada penugasan. Penugasan itu sebetulnya proses penguatan dan pengembangan diri. Mereka yang melibatkan diri untuk ambil peran atau banyak mendapatkan tugas maka dialah yang akan kuat dan terampil menyelesaikan berbagai permasalahan dalam kehidupan sosial. Tetapi di Gontor untuk melibatkan diri atau menerima tugas itu, yang berlaku adalah siapa yang banyak mengambil inisiatif sebagaimana salah satu mottonya: “Sebesar keinsyafanmu, sebesar itu pula keuntunganmu”.
Berjenjang, Kanda? Bisa dijelaskan lebih lanjut…….
Perjenjangan itu dimulai dari kiai; lalu guru-guru dengan kualifikasi senior, semi-senior, dan yunior; kemudian santri senior atau santri kelas akhir hingga santri kelas I-V. Medium kaderisasinya semua yang terlingkup dalam totalitas kegiatan kampus: dari intrakurikuler, ekstra maupun ko-kurikulernya dalam sistem full 24 jam yang saya sebut sebagai “totalitas pendidikan” dan “pendidikan total”.
Semua ini diatur secara self governance antarmereka sendiri yang dikawal oleh pimpinan pondok. Sistem rekrutmen yang menempati setiap pos kelembagaan di Gontor adalah dari internal pondok sendiri secara perjenjangan pula; mulai guru-gurunya secara berjenjang tadi sampai jenjang santrinya. Guru-guru ini alumni Gontor yang terlibat secara langsung dalam totalitas kehidupan pondok; mereka mengabdikan dirinya dan bahkan mewakafkan dirinya kepada pondok. Jumlahnya sedikit. Dari tiap angkatan setiap tahun, hanya sedikit yang dipilih mengabdi di Gontor dan jumlahnya semakin sedikit lagi setelah menempuh berbagai ‘ujian kehidupan’ di pondok yang hasilnya para guru yang mewakafkan dirinya.
Apa saja kriteria alumni yang mewakafkan dirinya ini?
Mereka harus siap melakukan suksesi kaderisasi pondok seperti mengerti, meresapi dan menghargai tatanan nilai dan sistem yang sudah ada; siap lahir-batin dalam membantu, membela, memperjuangkan, dan memikirkan pondok; bahkan kalau perlu mengorbankan nyawanya untuk tegak dan terlaksananya tatanan nilai dan sistem yang lebih konstruktif; bukan sebaliknya destruktif. Ini merupakan bagian integral dari strategi proteksi dan proyeksi yang sejalan dengan kaidah zaman: “al-muhafadhotu ‘ala qodimis sholih wal-akhdzu bil jadidil ashlah” (Memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik-red).
Seperti apa strategi proteksi dan proyeksi yang Kanda maksud?
Strategi proteksi itu usaha lembaga pendidikan untuk meningkatkan kualitas luhur santri: iman, ilmu maupun amal. Kalau proyeksi, ini berbagai upaya membangun dan mengembangkan segenap potensi stakeholders pesantren secara individual maupun institusional. Secara individual, proyeksi ini mengacu pada berbagai kecendrungan dalam diri santri pada minat dan bakatnya. Kalau secara institusional, menjadi acuan pengembangan yang dilandasi oleh nilai-nilai luhur institusi seperti visi-misinya, programnya serta orientasi pendidikan dan pengajarannya. Seperti apa pengembangannya; tiap-tiap pesantren punya jawaban sendiri sesuai kebutuhan, kemampuan dan proyeksi perencanaannya.
Kepekaan atas strategi proteksi dan proyeksi tidak bisa timbul seketika atau responsif begitu saja. Pekanya harus utuh: kepekaan terhadap perencanaan atas berbagai situasi dulu, sekarang dan masa depan; efektivitas, transpransi, dan evalusi pelaksanaannya; kemudian sinergi. Tetapi dari semua kepekaan ini, kepekaan terhadap nilai-nilai keikhlasan dan kesungguhan, itulah yang terpenting.
Dalam konteks organisasi kaderisasi, itu berarti nilai-nilai seperti keikhlasan, kesungguhan, dan nilai-nilai luhur lainnya bisa dibikin sistemnya?
Betul! Bahkan sistem itu mesti diorganisir. Pada pidato pengukuhan saya doktor honoris causa di UIN Jakarta belum lama ini (Agustus 2005-red), saya sebutkan sebagai “Manajemen Nilai-nilai” dan itu bisa diorganisir; pengorganisasian nilai-nilai yang terdiri dari Panca Jiwa, Motto, Orientasi, dan Filsafat Hidup Gontor.
Mendidik generasi penggerak dan pejuang dengan mendidik manusia biasa itu sungguh sangat berbeda. Disamping butuh kecakapan yang bisa diindrakan, juga membutuhkan nilai-nilai kejiwaan yang sulit diindrakan. Puluhan tahun saya mengalaminya; hampir seluruh usia saya. Maka saat peserta didik masuk ke dalam lingkungan kelembagaan kader, pikiran bawah sadar mereka itu harus dikuak bahwa dirinya itu seorang pemimpin yang terus-menerus dilakukan sepanjang masa; dan tugas pokok pengkader adalah memastikan “Manajemen Nilai-nilai” berjalan atau tidak.
Nah, Gontor telah dirintis sejak abad ke-18 atau era Gontor Lama di Tegalsari; kemudian menemukan formulasi pengembangan pendidikannya tahun 1926 di Desa Gontor (Ponorogo-red) yang disebut era Gontor Baru di tengah pergolakan zaman pergerakan Indonesia Modern; kemudian diwakafkan kepada umat Islam sejak 1958, telah menempuh sejarah panjang dalam merumuskan dan menegakan “Manajemen Nilai-nilai” berupa Panca Jiwa, Motto, Orientasi, dan Filsafat Hidup. Seorang pendidik pasti mampu menjadi pemimpin, tetapi belum tentu seorang pemimpin mampu menjadi pendidik.
Bagiamana kalau ada alumni Gontor di luar kelembagaan formal Gontor dan ada non-alumni Gontor yang ingin berkontribusi di Gontor?
Tetap diterima, tetapi kita selalu berhati-hati agar mereka tidak merusak sistem, nilai-nilai dan falsafah yang sudah mengakar kuat ini. Salah satu motto Gontor “berbudi tinggi, berbadan sehat, berpengetahuan luas, dan berpikiran bebas” tidak bisa dibolak-balik. Berpikiran bebas malah akan jadi sebebas-bebasnya dan sesat tanpa fase berpengetahuan luas.
Berpikiran bebas itu maksudnya dia bukan saja bersikap terbuka tetapi bertanggung jawab dalam persoalan apapun. Kebebasan itu simbol kedewasaan dan kematangan yang didasarkan kepada Al Quran dan Sunnah. Kemudian bagaimana mungkin bisa berpengetahuan luas kalau dia tidak sehat. Di atas segalanya adalah adab dan ahlak yang dikandung dalam nilai berbudi tinggi. Itu salah satu contoh kecilnya saja dalam memahami, meresapi dan melaksanakan motto ini.
Kalau kualitas HMI menurun, itu artinya apakah karena faktor pengkader dan dan sistem manajemen nilai-nilainya?
Pasti ada yang salah; tidak sungguh-sungguh melaksanakan dan menegakan “Manajemen Nilai-nilai” ke-HMI-an. Atau memang sudah rapuh atau tidak punya lagi manajemen pengorganisasian visi, misi dan tujuan HMI di berbagai jenjang kaderisasinya.
Jenjang kaderisasi HMI apakah mesti sebangun dengan Manajemen Nilai-nilainya?
Lho iya, dan itu bukan terhenti pada Latihan Kader (LK), tetapi justru setelah latihan untuk dipraktikan secara nyata dan berkesinambungan. Tanpa nilai-nilai, yang ada hanya gerombolan; bukan himpunan. Himpunan itu lambang kolektivitas yang terorganisir, terutama mengorganisir nilai-nilai yang menjadi fondasinya. Bagaimana mungkin menjadi insan pengabdi yang hebat tanpa fase menjadi insan akademik dan pencipta yang kuat. Untuk itulah nilai-nilai yang menjiwai menuju insan akademik dan pencipta, tugas pokok para pemimpin di setiap jenjang pengkaderan formal dan informal mesti insyaf untuk memiliki keteladanan atau uswah al- hasanah; dan adanya pengarahan, pendekatan, motivasi, penugasan, pembekalan, evaluasi, pembinaan lahir-batin sepanjang massa.
Maka di kampus-kampus ataupun di pusat-pusat unggulan, pada fase pertama dan kedua itu (insan akademik dan pencipta-red), menjadi mutlak mempersiapkan kualitas kader secara utuh, menyeluruh, dan terus-menerus. Untuk apa? Agar saat terjun ke masyarakat dengan sebenar-benarnya menjadi insan pencipta dan apalagi pada fase pengabdi ia punya dasar atau fondasi yang sangat kuat.
Namanya juga “Insan Cita” mencetak insan kamil untuk kemajuan negeri atau “baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur” yang berpegang teguh pada Al-Quran dan Sunnah. Contoh di Gontor, ukuran keberhasilan santri dapat diukur saat dia telah berada di tengah masyarakat: seberapa besar jasa dan pengabdiannya kepada masyarakat karena salah satu falsafah dan motto Gontor adalah “khairunnas anfauhum linnas” (sebaik-baik manusia ialah yang paling bermanfaat bagi sesamanya-red). Tetapi Gontor mewanti-wanti melalui falsafah lainnya “Berjasalah tetapi jangan minta jasa”.
Pokok-pokok pengalaman apa saja yang memantapkan Kanda yakin terhadap langkah dan sistem Gontor sekarang ini?
Ada empat hal penting yang saya alami. Pertama, tanpa mengaitkan antara gerakan mormon (sebuah sekte Kristen di Amerika) dengan insitusi Islam, tetapi semata-mata melihat sisi gerakan ekonomi dan sosialnya yang tangguh. Saya melihat mereka sangat disiplin dan punya etos kerja yang tinggi.
Kedua, saat saya menyaksikan kemajuan pendidikan di Eropa sangat kentara komunitas belajar mereka yang disebut sebagai learning society itu. Mereka juga punya budaya disiplin yang sangat kuat.
Ketiga, pengalaman menjadi aktifis mahasiswa HMI Ciputat dan IAIN Jakarta bersama-sama Nurcholish Madjid, AM. Fatwa, dan sebagainya serta cabang-cabang lain seperti Akbar Tandjung, Mar’ie Muhammad dan lain-lain. Pengalaman aktifis mahasiswa bersama mereka-mereka ini mengasah kepekaan saya.
Keempat, menyaksikan bahwa perguruan tinggi besar di dunia ini berawal dari sesuatu yang kecil, tetapi ini dilakukan dengan semangat keagamaan yang kuat. Universitas Al-Azhar itu dari masjid kecil, Universitas Laiden juga dari gereja kecil, termasuk Universitas Harvard dan sejumlah universitas bergengsi lainnya.
Sedikit bernostalgia zaman Kanda di HMI Cabang Ciputat. Seperti apa?
Kami pengurus cabang Ciputat periode 1964-1965 dan saat itu baru saja menjadi cabang (1961-red) setelah sebelumnya komisariat Cabang Jakarta Raya. Salah satu pendirinya, AM. Fatwa, juga aktif di PII (Pelajar Islam Indonesia). Ketua umum pertamanya kalau tidak salah Abu Bakar. Keduanya ini senior beberapa tahun.
AM. Fatwa dari dulu vokal terhadap situasi sosial politik sebelum maupun sesudah meletus peristiwa Gestok (Gerakan 1 Oktober 1965/PKI-red). Dia pengkritik keras PKI dan underbownya seperti CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia-red). Saya lupa tahun berapa: aparat pernah memburu AM. Fatwa karena mengkritik Menteri Pendidikan yang lebih memanjakan CGMI. Ini tidak adil. Apalagi waktu itu di tahun-tahun awal cabang Ciputat berdiri, PKI melalui CGMI lantang ingin membubarkan HMI.
Kalau Cak Nur dari dulu sejak di Gontor sudah ‘kutu buku’ dan pintar. Begitu di HMI, tambah lagi. Periode sebelumnya (1962-1963, red), Cak Nur sudah jadi pengurus cabang, ketua umumnya Salim Umar. Cak Nur kalau tidak salah sekretaris umumnya. Setahun sebelum kami menjadi pengurus cabang Ciputat, kondisi HMI secara keseluruhan sangat memprihatinkan. Ini terjadi zaman Mas Tom (Sulastomo-red) ketua umum PB HMI (1963-1966, red). Karena tarik-menarik antar kekuatan politik pemerintahan Bung Karno setelah Masyumi dan PSI (Partai Sosialis Indonesia) dibubarkan (1960-red), Cabang Ciputat dan Yogyakarta kena getahnya setelah sebelumnya berkali-kali demonstrasi merespon buruknya situasi nasional saat itu. Mas Tom terpaksa membekukan dua cabang ini dalam tekanan politik luar biasa.
Aktifis HMI Cabang Ciputat seperti AM. Fatwa, Salim Umar dan kawan-kawan sampai ditangkap aparat. Mereka dituduh kontra revolusioner. Jadi boleh dibilang pada periode kami (1964-1965) bersama Cak Nur, situasi kelam itu baru dipulihkan. Kegiatan cabang yang bertumpu pada pengkaderan yang sempat vakum dihidupkan lagi.
Bagaimana dengan kaderisasi Cabang Ciputat periode 1964-1965 ini?
Cak Nur jadi ketua umum cabang Ciputat dan saat itulah untuk pertama kalinya LK menggunakan modul rumusan Cak Nur; waktu itu disebut “Nilai-Nilai Islamisme” sebelum dirumuskan menjadi Nilai-nilai Dasar Perjuangan (NDP) saat Cak Nur menjadi ketua umum PB HMI pada akhir periode keduanya dan digunakan PB HMI pengganti Cak Nur zaman Akbar Tandjung ketua umumnya. Tetapi sebelumnya, karena landasan perjuangan HMI ini baru lahir di cabang Ciputat dan Cak Nur sering memaparkannya pada berbagai forum diskusi di luar IAIN, maka banyak sekali komisariat dari lintas kampus di Jawa Barat dan Jakarta Raya sebagai wilayah terdekatnya mengikuti LK di HMI Cabang Ciputat. Kalau ada perkumpulan sebuah kegiatan, apalagi sampai malam, di mana-mana pasti selalu dicurigai kontra revolusioner. Beruntung pada 1965 saat Gestok meletus, saya sudah kelar kuliah di IAIN Jakarta, jadi tidak terlalu terganggu dengan proses perkuliahan.
Seru sekali ceritanya Kanda. Nah, kalau tradisi diskusi di Ciputat?
Intelektualisme cabang Ciputat dan IAIN Jakarta dirintis dari peran Cak Nur. Anggota dan pengurus cabang bisa semalam-suntuk berdiskusi: dari pagi ke pagi lagi hampir setiap hari, tetapi lebih banyak sembunyi-sembunyi karena zaman itu konstalasi politik nasional sangat buruk. Selain itu IAIN pada zaman saya tengah mencari landasan akademiknya karena baru saja masuk pada era formulasi kelembagaannya dari peleburan ADIA (Akademi Dinas Ilmu Agama) Jakarta dengan PTAIN (Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) Yogyakarta (dileburkan sejak 1960-red) menjadi IAIN, yang berpusat di Yogyakarta.
Apa yang disebut interdisipliner studi Islam yang kelak jadi ciri khas seluruh UIN dan IAIN sekarang, pada era 1960-an belum diterapkan di kelas-kelas perkuliahan, tetapi embrionya sudah dimulai melalui forum diskusi HMI Cabang Ciputat. Beberapa tahun setelahnya (1963-red), baru ada pemisahan secara otonom: IAIN Jakarta dan IAIN Jogja. Dua IAIN inilah ditugaskan oleh negara sebagai pembina untuk membidani lahirnya IAIN-IAIN lainnya di berbagai daerah diawali dari fakultas-fakultas.
Seingat saya, Cak Nur sebelum dan sesudah jadi ketua umum Cabang Ciputat masih bolak-balik Jakarta-Jogja karena dia aktif pada kelompok diskusi terbatas lintas kampus Jogja seperti dengan Ahmad Wahib (UGM), Johan Effendi (IAIN Yogyakarta), Dawam Raharjo (UGM); terkadang ada Gus Dur dan lain-lain. Pulang dari Jogja selalu ada oleh-oleh yang dia bawa. Oleh-oleh di sini adalah buku! Sebaliknya dari Jakarta, kawan-kawan di Jogja selalu menunggu buku-buku yang dibawa Cak Nur karena Jakarta dianggap lebih lengkap. Yang paling senior dari forum diskusi terbatas ini Pak Mukti Ali, alumni Pesantren Termas-Pacitan dan Lasem yang kelak jadi Mentri Agama dari HMI. Beliau ini kalau istilah sekarang menjadi semacam sponsornya.
Kalau forum diskusi terbatas Cak Nur dkk disponsori Prof. Mukti Ali dan memang kelak beliaulah katalisator berkembangnya akar intelektual Islam di Indonesia dengan mengirim alumni-alumni IAIN dan tokoh muda Islam ke negeri Barat saat menjabat Menteri Agama 1971-1978, di HMI Ciputat (IAIN Jakarta) periode Kanda siapa sponsornya?
Hampir tidak ada (hahaha). Kalau disebut-sebut dilakukan Pak Harun Nasution juga tidak tepat, karena era 1960-an beliau masih merampungkan studi master dan doktornya di MacGill Kanada. Jadi kalau Cak Nur pernah menyebut tidak pernah diajar Prof. Harun memang betul.
Sepulang dari McGill, Prof. Harun baru jadi rektor IAIN Jakarta (1969-red) saat kami sudah tamat IAIN atau masih ada beberapa kawan yang tengah merampungkan sarjana penuhnya (Drs) setelah sarjana muda (BA). Saya pun sudah melanjutkan studi sarjana dan master ke Al-Azhar Kairo sekitar setahun setelah selesai (demisoner-red) di cabang Ciputat (dari 1966 sampai 1976, red). Cak Nur dari dulu sebetulnya ingin sekali melanjutkan studi ke Timur Tengah, tetapi taqdir membawanya belajar Islam ke Amerika (hahaha). Malahan kalau tidak salah akhir era 1960-an, dia mendapat beasiswa keliling negara-negara Timur Tengah.
Kalau sponsor berupa logistik teknis kegiatan?
Logistik seperti makan-minum, peralatan kesekretariatan dan lain-lain sebagai penunjang proses intelektualisme dan kaderisasi, kami iuran. Terkadang kalau kurang, ditambah dari saya karena dianggap anak kiai Gontor (hahaha). Hampir semua kegiatan mahasiswa digalang secara swadaya dengan cara iuran.
Zaman itu mana ada istilah sponsor seperti sekarang. Mereka yang menyokong atau iuran, kembali lagi seperti salah satu motto Gontor, “Sebesar keinsyafanmu, sebesar itu pula keberuntunganmu”. Aktifis mahasiswa pertengahan 1960-an (eksponen 1966, red) insyaf atau sadar akan pentingnya kegiatan perjuangan dan insyaf atas manfaatnya sehingga gotong royong. Ini prinsip dasar kemandirian. Dengan kemandirian itu organisasi apapun tidak gampang dibajak.
Seperti organisasi civil society sekarang juga kah?
Betul, harus mandiri. Organisasi-organisasi menengah-besar (skala-red), mesti ada usaha pendapatan untuk menghidupkan organisasinya seperti Al-Azhar Kairo yang pendapatannya setara dan bahkan melebihi pendapatan negara (APBN-red) Republik Mesir atau seperti Hizbullah di Libanon melalui manajemen wakafnya; atau gotong royong dengan iuran karena sama-sama meyakini dan menyadari manfaat organisasinya. Kampus-kampus harusnya pun begitu; jangan dikit-dikit tergantung dari negara.[] Alfi Rahmadi
Kutipan:
“Seorang pendidik pasti mampu menjadi pemimpin, tetapi belum tentu seorang pemimpin mampu menjadi pendidik”–KH.Abdullah Syukri Zarkasyi.